
Rani Jambak dan Seniman Korea Selatan: Meramu Tubuhi dan Batu untuk Karya Spektakuler
,
Jakarta
– Musisi Indonesia
Rani Jambak
dan seniman
Korea Selatan
Sojin Kwak memerankan “Spinning Ground” bersama-sama di Gallery 5, Busan Museum of Contemporary Art.
Busan
, Korea Selatan, 30-31 Mei 2025. Suasana tempat tersebut dipenuhi dengan bunyi dentingan batu, derumur air mengalir, vokal wanita yang puitis, serta getarannya dari musik elektronika.
Proyek “Spinning Ground” menjadi elemen utama dalam pameran “Green Shivering”, yang diselenggarakan di museum tersebut mulai tanggal 19 April sampai dengan 16 Juni 2025. Proyek ini diprakarsai oleh Dasol Lee. Sebagai salah satu rangkaian acara perfomatif terpilih dari Busan MoCA pada tahun ini, pameran ini berfokus spesifik pada topik tentang ekologi, kehidupan, serta tampilan alam setelah era industri menggunakan kreasi seni audio, media art, dan juga pertunjukan kontemporer sebagai wadahnya.
“Green Shivering” adalah sebuah karya seni kontemporernya yang mengambil inspirasi dari pemikiran filsuf ekologi Timothy Morton, lebih spesifik tentang bagaimana alam semesta menjadi tidak simetris dengan hubungan yang tidak seimbang antara makhluk hidup dan bukan makhluk hidup serta Bumi yang sudah tidak hanya memutar untuk kepentingan manusia saja. Dalam pertunjukan “Green Shivered”, selain penampilan Rani Jambak dan Sojin Kwak, juga dipajang hasil kerja para seniman lintas disiplin ilmu dari beberapa negara lainnya termasuk Heiner Goebbels dari Jerman dan artis-artis Korea Selatan yaitu Ik-myung Kim, Lee Jade Sujin, Im Goeun, dan Sojin Kwak.
Dalam “Spinning Ground”, Sojin Kwak mengambil lanjutan dari proyek sebelumnya yaitu “Moving Ground”. Karyanya tersebut merupakan film dalam tiga saluran yang mendalami eksplorasi tentang lanskap geografis buatan manusia seperti tambang, industri pertambangan batu, serta lahan-lahan yang digerakkan oleh kekuatan buatan. Sementara itu, projek ini memiliki hubungan erat dengan penelitian panjang milik Rani Jambak bertajuk “#Futureancestor” – usaha seni yang mempelajari aspek-aspek warisan budaya Minaankabau melalui pencatatan bunyi alam, merancang instrumen, dan spiritualitas nenek moyang mereka. Berdasarkan hal tersebutlah, Rani membuat kincia aia, yakni perangkat musik elektronoise berbasis hibrid antara teknologi modern dengan metode konvensional Minangkabau. Alat ini tak sekadar sebagai media.
musikal
, namun juga merupakan ikon bagi cara operasional alam dan manusia: berputar, menumbuk, merubah, dan menjaga kelestarian.
Musisi Rani Jambak serta Sojin Kwak mempertunjukkan karya mereka berjudul “Spinning Ground” di Galeri 5 Busan Museum of Contemporary Art, Busan, Korea Selatan pada tanggal 30 hingga 31 Mei 2025. Foto dokumentasi oleh Rani Jambak.
Sojin Kwak mengawali proyek ini berdasarkan sebuah kutipan dari cerita fiksi ilmiah yang berbunyi: “Kehidupan kami tidak hanya milik diri kami sendiri. Mulai dari rahim sampai pemakaman, kami selalu terhubung dengan orang lain. Baik masa lalu maupun saat ini. Lewat tiap perbuatan jahat ataupun baik, kami menciptakan masa depan kami.” Kutipan tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Sonmi-451 dalam novel tersebut.
Cloud Atlas
Karya David Mitchell. Pernyataan tersebut merupakan sebuah manifesto robot yang dibuat tahun 2144 dan baru ditemukan lagi pada tahun 2321. Dokumen ini menggugah diskusi seputar siapa yang bakal menerima nilai-nilai hidup di kemudian hari: apakah manusia ataukah mesin?
Di pihak lainnya, Rani di dalam proyek “#Futureancestor” malah mengambil pelajaran dari para leluhurnya. Perjumpaan antara kedua sudut pandang tersebut—di satu sisi ada robot masa depan sedangkan sisinya lagi adalah kakek-nenek buya kita—menghasilkan sebuah tali penghubung yang mampu melewati ikatan zaman.
“Dua-duanya sesungguhnya membicarakan tentang masa depan,” ujar Sojin Kwak dalam pernyataan pers yang diterima.
Tempo
Pada hari Selasa, tanggal 2 Juni 2025, “Yang pertama berawal dari perkembangan teknologi mesin, sedangkan yang kedua muncul dari dasar-dasar budaya luhur. Namun, prinsip-prinsip keduanya tetap sama: kelangsungan hidup, penghormatan kepada kehidupan, serta kesadaran akan Bumi.”
Lebih lanjut, Sojin memvisualisasikan sebuah hubungan fiktif antara dua tempat yang amat bertolak belakang: Pulau Eulsukdo di Korea Selatan dan lobang bekas penambangan di Sukabumi, Indonesia. Dia membayangkan bahwa material seperti tanah dan batu yang diekstraksi dari pegunungan di Indonesia, walaupun telah dipindahkan ke suatu tempat, pada dasarnya masih terletak di permukaan bumi. “Dalam bayanganku,” ujar Sojin, “Pulau Eulsukdo mirip dengan pipa sembur yang menonjol keluar; materi dan struktur alamnya berasal dari lubang pertambangan di Sukabumi.” Baginya, batuan dan lapisan tanah yang lenyap di satu area pastilah akan tampil kembali di daerah lain — ini adalah bagaimana dunia kerja atau mungkin juga hasil intervensi manusia dalam perubahan bentukan Bumi tersebut.
Dari segi musik, “Spinning Ground” memiliki dua bagian utama yaitu “Loss” dan “Recovery”. Pada babak awal berjudul “Loss”, merupakan perwujudan marah dan takut akibat pengeksploitan sumber daya alam. Rani mempergunakan bebatuan nyata yang dia kumpulkan di area sekitaran museum untuk membuat bunyi tabrakan serta goresan yang keras, murni, dan sangat kuat. Dia mensimulasikan suara pegunungan yang ditambang, tanah yang dicakar, dan desisan nafsu serakah yang membuka lebar-lebar. Menurut Rani, “Karya ini melukiskan alam yang luka beserta rasa takut manusia karena kehilangan tempat tinggalnya akibat kerusakan lahan.”
Musisi Rani Jambak mempresentasikan “Spinning Ground” di Galeri 5 Busan Museum of Contemporary Art, Busan, Korea Selatan pada tanggal 30-31 Mei 2025. Dokumentasi oleh Rani Jambak.
Di segmen kedua bertajuk “Recovery”, nada beralih menjadi lebih halus dan penuh introspeksi. Pada kesempatan kali ini, Rani menggukanal lapisan batu besar terhubung dengan perangkat musik elektronik, sehingga menciptakan suara.
ambience
Terbentuk hanya lewat sekilas kontak. Dia menyentuh bebatuan tersebut seakan-akan ia sedang merawat suatu luka atau memeluk anak kandungnya. Vokalis bernama Rani pun mulai mendominasi sambil menyuarakan pesona harapannya. Dia mengumpulkan beberapa butir kerikil, mencengkramnya erat, kemudian meletakkannya secara berhati-hati, sebagai bentuk pengucapan jika batu tak melulu objek tanpa nyawa, tetapi lambang dari eksistensi hidup yang perlu dijaga.
Alat musik angin yang dipraktikan oleh Rani dalam kedua komposisi itu muncul sebagai lambang hubungan antara bebatuan dan air. Perputaran dari alat musik angin ini merujuk pada gerakan mekanisme pemukul padi, menunjukkan siklus serta dinamika perubahan wajah Bumi beserta irama kehidupan berbagai organisme yang bertempat tinggal di permukaannya.
Rani menciptakan keseluruhan komposisinya sambil tampil sendirian pada acara selama kira-kira 40 menit itu. Semua elemen audionya terbentuk dari perekaman medley suara alam dan kehidupan urban yang ia kumpulkan bersama Sojin Kwak di beragam tempat antara lain Indonesia dan Korea, seperti suara hutan, gelombang laut, arus sungai, sampai dengan aktivitas dermaga Busan serta area Pulau Eulsukdo. Perannya dibantu oleh Morgan Jeong sebagai pencipta efek audio dan Erly Noviana untuk merancang kostum guna mendalilkan ekspresi fisik dan aspek seni dalam performanya.
Karya ini bukan sekadar tentang suara, melainkan juga mengenai lokasinya. Pulau Eulsukdo mewakili perubahan ekologis yang luar biasa. Berdiri sejak tahun 1960-an karena pengumpulan sediment dari muara Sungai Nakdonggang, pulau tersebut dahulu digunakan sebagai tempat pembuangan limbah namun saat ini telah dikembangkan menjadi sebuah taman ekologi serta habitat bagi burung migran. Saat ini, Eulsukdo terkenal dengan julukan “pulau bersih berburung” dan bertindak sebagai persimpangan antara pembaruan lingkungan dan kesenian kontemporer.