
Oleh: Ns. Alfi Syahri, S.Kep., M.K.M., Sp.Kep.MB (Staf Pengajar di Institut Kesehatan Deli Husada, Pelamar Program Doktoral dalam Bidang Keperawatan dari Universitas Airlangga, Anggota Dewasaha Perserikatan Himpunan Perawat Paliatif Indonesia serta Pendiri PalliApis Care)
Paliatif merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang mendapat perhatian besar secara global karena meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit kronis dan terminal di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menegaskan pentingnya pengembangan layanan paliatif sebagai bagian integral dari sistem kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya di berbagai negara.
Di Indonesia, implementasi hal tersebut dicapai melalui rilisnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/2180/2023 mengenai Panduan Pelaksanaan Layanan Paliatif. Aturan ini menjamin dasar hukum yang kuat untuk petugas medis dan lembaga pelayanan sehingga bisa menyediakan servis paliatif yang terpadu, lintas disiplin ilmu, fokus pada meningkatkan taraf kehidupan pasien dengan kondisi penyakit parah atau akhir hayat, sambil membimbing famili secara keseluruhan.
Tiap individu pasti dambakan kehidupan yang sehat serta bernilai. Akan tetapi, saat terjebak dalam kondisi medis parah atau menahun layaknya kanker, gagal jantung, HIV/AIDS ataupun sakit degeneratif lainnya, petualangannya di dunia ini umumnya dipadati dengan pelbagai rintangan.
Pelayanan paliatif lebih dari sekedar mengobati penyakit; ini adalah suatu bentuk seni perawatan yang ditandai oleh kebaikan hati serta fokus utama pada pengurangan rasa sakit dan meningkatkan mutu hidup pasien di tahap akhir hidup mereka.
Berdasarkan pendapat Prof Hartiah Haroen, menerapkan perawatan paliatif sedari dini, termasuk saat diagnosa pertama kali dibuat, memiliki dampak positif besar pada aspek psikologi dan kehidupan pasien secara keseluruhan. Metode ini bukan hanya berfokus pada sisi medis saja, melainkan mencakup segi menyeluruh lainnya, memperhitungkan nilai manusia dari pasien. Oleh karena itu, metode tersebut pantas untuk menjadi patokan dalam penanganan kesejahteraan kesehatan bagi mereka yang mengidap penyakit jangka panjang.
Pelayanan ini meliputi berbagai aspek. Bukan hanya bidang fizikal tetapi juga emosional, sosial dan rohani. Sokongan psikologi menolong pesakit dan famili mereka untuk menghadapi cemas, sedih dan tekanan yang kerap timbul. Pemanduan rohani menyediakan kedamaian dalam diri sesuai dengan iman setiap individu. Pentadbiran kesakitan menjadi tujuan pokok kerana rasa sakit boleh merugikan situasi dan mood seseorang serta ganggu kualiti hayat pesakit tersebut.
Studi yang dijalankan oleh Prof Tintin Sukartini menunjukkan bahwa metode relaksasi autogenik yang mencakup praktik pernafasan dan pesan positif, terbukti dapat mengurangi intensitas rasa sakit serta memperbaiki pengetahuan pasien tentang cara merawat diri dari rasa sakit tersebut. Sehingga membuat mereka mampu berdiri sendiri dan yakin dalam menyongsong setiap gejala nyeri.
Perawatan paliatif tidaklah harus dihindari atau dipertanyakan. Ini adalah bentuk penghargaan dan cinta yang difokuskan pada peningkatan kehidupan serta pengurangan rasa sakit bagi pasien. Dengan dukungan yang cukup, baik pasien maupun keluarga mereka dapat melewati tantangan tersebut dengan maknawi dan berharap.
Hasil penelitian oleh Prof Christantie Effendy menggarisbawahi betapa besarnya kontribusi dukungan keluarga dalam memberikan perawatan paliatif di rumah dapat meminimalkan tekanan emosional serta meningkatkan mutu kehidupan pasien secara keseluruhan. Menjaga dengan cinta tak cuma menjadi tugas para profesional kesehatan, tetapi juga keluarga yang memiliki peran sentral sebagai penyerta.
Pemahaman tentang kesehatan bagi pasien dan keluarganya amat vital dalam mengatur kondisi medis jangka panjang. Menurut penelitian dari Profesor Hema Malini, sekitar separuh pasien mempunyai tingkat pemahaman terbatas, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti umur, latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan, keberadaan akses internet serta partisipasi mereka di lingkungan sosial. Staf kesehatan, termasuk para perawat, harus mendorong pertumbuhan kesadaran diri sehingga bisa menyampaikan informasi secara lebih efisien guna membantu pasien merencanakan tindakan rehabilitasi dengan cara yang akan menciptakan gaya hidup bermutu tertinggi.
Komunikasi yang efektif merupakan fondasi utama dalam perawatan paliatif sebab dapat mendukung staf medis mengenali keperluan aspek emosi dan rohani pasien sambil merancakkan hubungan kepercayaan. Lebih dari itu, komunikasi memiliki fungsi krusial di tengah tahap penyembuhan tersebut.
Prof Erna Rochmawati menyatakan tegas bahwa perawatan paliatif berfokus pada komunikasi yang penuh empati beserta dukungan rohani bisa membawa kedamaian jiwa kepada pasien dan orang tua mereka, menjadikan hal ini sebagai suatu bentuk kesenian dalam merawat yang amat penting di tahap terakhir hidup seseorang.
Pengembangan layanan paliatif di Indonesia tetap menghadapi tantangan signifikan. Menurut penelitian oleh Profesor Christantie Effendy, kurangnya kesadaran para profesional kesehatan serta sedikit dukungan dari institusi merupakan kendala terbesar. Akan tetapi, pada tahun 2024 telah didirikan Himpunan Perawat Paliatif Indonesia (HPPI), harapan baru untuk memperbaiki mutu dan norma-norma dalam penyediaan layanan paliatif di negara ini.
Perawatan paliatif berfokus pada penghapusan rasa sakit fisikal sambil menciptakan kedamaian mental bagi pasien. Melalui dukungan keluarga, meningkatnya kesadaran tentang kesehatan, serta adanya staf medis yang empati dan kompeten, praktik perawatan yang dipenuhi belas kasihan ini semakin maju dan membawa manfaat konkret kepada mereka yang menderita penyakit kronis di Indonesia.
Perawatan paliatif tidak berarti sebagai titik akhir harapan, tetapi justru permulaan sebuah petualangan hidup yang bermakna walaupun disertai keterbatasan. Mengurus dengan cinta adalah suatu seni yang memahami bahwa tiap kehidupan bernilai dan pantas untuk menerima penghargaan tertinggi hingga detik terakhir. (*)