
, JAKARTA
Ketua Komisi Anggaran DPR RI, Said Abdullah, mengungkapkan beberapa pandangan tajam tentang kebijakan fiskal serta pos awal dari Draft Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2026.
Itu dikatakan sebagai respons terhadap presentasi Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sidang pleno DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 20 Mei 2025.
Dalam presentasinya, Sri Mulyani mengestimasi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada di antara 5,2% hingga 5,8%, dengan perkiraan inflasi sebesar 1,5%-3,5%. Nilai tukar rupiah diperkirakan akan berkisar antara Rp 16.500 sampai Rp 16.900 untuk satu dolar Amerika Serikat, sementara defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diproyeksikan mencapai 2,48-2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk pendapatan negara diperkirakan mencapai 11,7–12,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara itu belanjanya diproyeksikan sekitar 14,19–14,75 persen PDB.
Namun, Said menggarisbawahi peningkatan proteksionisme dunia karena perang tarif tersebut, yang ia percaya harus ditangani melalui diplomasi ekonomi yang proaktif serta memperkuat janji perdagangan internasional yang lebih adil.
“Untuk membentuk janji baru dalam bidang perdagangan, pemerintah harus melibatkan global community dan menjamin bahwa kedepannya tak akan ada negara yang bertindakan semena-mena tanpa persetujuan bersama serta seluruhnya taat terhadap aturan perdagangan internasional,” ungkap Said saat ditemui oleh media pada hari Selasa.
Said juga menekankan kemungkinan defisit pendapatan negara disebabkan oleh penurunan harga komoditas serta konsumsi dalam negeri yang lesu.
Maka dia menyarankan agar pemerintah merumuskan sasaran pendapatan yang rasional-tetapi optimistis serta mengembangkan cakupan perpajakan, meliputi bidang digital, pertambangan mineral, dan bea masuk.
Said mengatakan bahwa implementasi core tax system sebagai langkah untuk membentuk sistem perpajakan yang kuat pada tahun mendatang harus memperhatikan tingkat pemahaman para wajib pajak, serta menjamin kesediaan dan keamanan sistimnya.
Dalam bidang pertanian dan energi, Said mengkritik bahwa upaya meningkatkan ketahanan masih belum memperlihatkan dampak yang berarti.
“Sebaliknya dari mengakhiri impor bahan makanan, sektor peternakan kami justru terganggu dalam hal lahan dan tenaga kerja, ditambah dengan penyesuaian teknologi yang tertunda,” katanya.
Maka, ia mengharapkan agar pihak berwenang meneruskan kebijakan redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar, memberikan pelatihan bagi pekerja di bidang perternakan, dan mendukung penggunaan teknologi modern dalam industri pertanian tersebut.
“Sama halnya dengan program ketahanan energi, proyek pembangunan lima kilang minyak harus tetap diteruskan, termasuk kilang petrokimia di Tuban yang sempat tertunda. Ini merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan kapasitas pemrosesan minyak dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor,” jelas Said.
Sebagai berikut, sektor industri juga dianggap melemah, yang terlihat dari penurunan jumlah kelas menengah mulai tahun 2019.
Said menggarisbawahi kesesuaian dalam menciptakan iklim industri yang solid serta mencegah sektor bisnis berpindah ke negara lain.
Pemerintah harus memperbarui sektor industri dengan menciptakan lingkungan industri yang mendukung, termasuk sumber daya manusia, bantuan pembiayaan, penelitian dan pengembangan teknologi, serta insentif pajak,” jelasnya.
Dia pun mengecam sasaran pengangguran dan koefisien Gini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026 karena dinilai tidak cukup ambisius.
Diakhir tahun 2024, angka pengangguran mencapai 4,76%, sementara rasio gini berada di posisi 0,381. Sementara itu, tujuan untuk RAPBN 2026 menargetkan angka pengangguran antara 4,44% hingga 4,96%, dengan rentang rasio gini sebesar 0,377 sampai 0,380.
“Ini menandakan bahwa belum ada pencapaian signifikan dalam menciptakan lebih banyak pekerjaan untuk mengurangi angka pengangguran serta memperkecil ketimpangan sosial,” tambah Said.