
, SEMARANG –
Makian dan menerima hukuman berupa berdiri selama satu jam pernah dirasakan oleh dokter Aulia Risma Lestari ketika mengikuti program PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang sebagai bagian dari pengalamannya yang senior.
Ini menjadi pembukaan pertama dari perkara diduga pemerasan dan penganiayaan yang diproses di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kota Semarang, pada hari Senin (26/5/2025).
Pada sidang itu dihadiri oleh ketiganya sebagai terdakwa, yakni Zara Yupita Azra, yang lebih berpengalaman dibandingkan dengan korban bernama Aulia Risma Lestari; Kaprodi Anestesiologi FK Undip Taufik Eko Nugroho; serta Sri Maryani selaku Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip.
Persidangan untuk ketiganya dipisahkan dan diadakan secara individual.
Pengadilan awal digelar bagi tersangka Taufik Eko Nugroho serta Sri Maryani karena dituduh melakukan pemerasan.
Pada sidang kedua, tersangka tunggalnya adalah Zara Yupita Azra, dituduh atas kasus ancaman disertai kekerasan.
Dalam persidangan bersama terdakwa Zara ini, ternyata diketahui ada ucapan kasar serta hukuman yang tak berperikemanusiaan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika ketika membacakan tuduhan menyebutkan bahwa Zara dijerat dengan Pasal 335 ayat 1 KUHP (ancaman kekerasan).
Tindakan ilegal yang dilakukan oleh Zahra Yuvita Azra mengharuskan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Keperawatian Anestesi Unud dari angkatan ke-77 serta dr. Aulia Risma, untuk menaati peraturan seputar anestesi dan etika dalam pemberian anestesi.
Kepada juniornya, Zara menjelaskan pasal anestesi, larangan anestesi, dan operan tugas anestesi seperti menyediakan transportasi mobil, menyediakan logistik di ruang bunker anestesi, dan lainnya.
Terkait pasal-pasal tentang anestesi yang bersifat sangat kaku dan wajib diikuti tanpa ada ruang untuk penolakan.
Aturan tersebut mencakup, Pasal 1, senior selalu benar.
Pasal 2, jika senior melakukan kesalahan maka harus kembali ke pasal 1.
Pasal 3, hanya diperbolehkan menjawab dengan Kata Ya atau Siap. Tidak boleh menunjukkan keluhan dan sebagainya.
Di samping aturan mengenai anestesi, ada juga hierarki kasta yang berlaku dalam bidang anestesi. Hierarki ini meliputi tujuh level tangga kekuasaan.
Tujuh tingkat tersebut berawal dari mahasiswa tahun pertama, kemudian diikuti oleh senior bimbingan (biasa disebut kambing) atau mereka yang sedang menempuh pendidikan pada level kedua.
Selanjutnya, middle senior yang merujuk pada mahasiswa tahun ketiga dan keempat, serta senior atau mahasiswa tahun kelima disebut sebagai shift of shift, atau mereka yang berada di tingkatan keenam hingga tujuh.
Kasta tertinggi adalah dewan suro atau mahasiswa semester 8 atau terakhir, sampai dengan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).
Dalam struktur ini, tersangka Zara berperan sebagai saudari pemimpin atau pengganti bagi almarhum Aulia Risma.
“Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi,” papar Sandhy.
Mahasiswa anestesi diharuskan membayarkan upah kepada joki tugas senior mereka, yang sudah merogoh kocek hingga mencapai puluhan juta rupiah. Uang tersebut berasal dari dana kontribusi mahasiswa program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi.
Menurut keterangan jaksa, terdapat dugaan kerugian keuangan senilai Rp864 juta yang dialokasikan untuk biaya makan para senior serta upah pembantu virtual atau penjuang tugas-tugas akademik mereka.
Aulia Risma sempat menyampaikan keluhan tentang pemakaian dana itu ke ibunya, namun dia masih saja menyelesaikan transaksinya berdasarkan instruksi dari senior-nya yang memaksa dengan menggunakan undang-undang bius.
“Peraturan tersebut sebenarnya adalah wujud dari tekanan psikologis dan ancaman tersembunyi,” ungkap Sandhy.
Dia menunjukkan bahwa tersangka Zara sebelumnya telah melakukan intimidasi dan hukuman menggunakan tekanan psikologis serta umpatan keras.
Zara mengucapkan kalimat provokatif yang mencakup istilah-istilah seperti “goblok,” “lelet,” dan “payah.” Selain itu, dia juga menjatuhkan hukuman berupa posisi berdiri selama satu jam bagi siswa tersebut. Kemudian foto mereka diposting ke dalam grup WhatsApp dengan anggota sebanyak 23 orang.
Setelah itu, diadakan penilaian dari jam 02.00 hingga 03.00 pagi. Angkatan 77 anestesi (angkatan Aulia Risma) enggan bertentangan. (Petunjuk) Melawan berarti menghadapi rintangan dalam aspek akademis,” jelas jaksa.
Tak Ajukan Eksepsi
Mengenai tuduhan itu, Zara menegaskan bahwa dia tidak akan mengajukan sanggahan atau pengecualian.
Sebabnya, dia berkeinginan untuk langsung menuju inti perkaranya.
Demikian dijelaskan oleh pengacara terdakwa, Khaerul Anwar.
Dia menginginkan persidangan yang langsung menuju ke inti perkara guna mengevaluasi bukti atau dasar dari kasus tersebut.
“Kita tidak akan mengesampingkan masalah tersebut. Kami akan menumpukan perhatian pada inti persoalan, langsung membahasnya, dan memeriksa keterangan saksi,” ujarnya setelah pertemuan.
Khaerul berniat untuk memanggil beberapa saksi utama, terlebih lagi mereka yang lulus sebelum dan setelah angkatan dokter Aulia, yaitu angkatan 76 dan 78.
“Para saksi yang mungkin tidak memberi manfaat dalam kasus ini tidak akan dipanggil sebagai saksi. Kami berupaya agar mereka tetap hadir,” jelasnya.
Seperti dilaporkan, insiden dugaan penganiayaan dan penyebaran ujaran kebencian dalam program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro menjadi sorotan setelah dokter Aulia Risma Lestari diketahui tewas di kamarnya yang berada di Lempongsari, Kota Semarang, pada tanggal 15 Agustus 2024.
Kematian tersebut diperkirakan disebabkan oleh tindak penganiayaan atau bully yang terjadi pada program PPGD Anestesi Undip Semarang, tempat korban telah bergabung sejak tahun 2022.
Pemerasan diduga turut serta dalam kasus bullying tersebut.
Istri yang ditinggalkan oleh almarhumah Risma, Nuzmatun Malinah, telah mengajukan laporan tentang kasus tersebut kepada Ditreskrimum Polda Jateng pada hari Rabu, tanggal 4 September 2024.
Polda Jawa Tengah telah mengidentifikasi dan menahan tiga tersangka untuk kasus tersebut pada tanggal 24 Desember 2024.
(*)