
– Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China pada akhirnya beristirahat sejenak. Dua negara tersebut sepakat untuk menahan diri dalam waktu 90 hari dari tindakan saling menjatuhkan tarif, yang mana hal itu telah memberikan tekanan besar terhadap ekonomi dunia.
Seperti dilaporkan oleh The Guardian, pada konferensi pers di Jenewa pada hari Senin (12/5), Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, menyampaikan bahwa kedua belah pihak menunjukkan tingkat penghargaan yang signifikan sepanjang proses perundingan tersebut.
Perjanjian ini termasuk pengurangan tariff balasan sebanyak 115 poin persen. Tindakan tersebut dinilai menjadi titik balik dalam mengatasi tensi yang semakin memuncak sejak awal tahun.
“Besar kesepakatan antara kedua delegasi di akhir minggu ini ialah tak ada pihak yang ingin terpisah,” kata Bessent.
Potongan harga dalam periode 90 hari ini mengacu pada biaya masuk yang diberikan oleh Donald Trump pada tanggal 2 April kemarin. Harga tersebut pernah meningkat sampai 125% untuk mayoritas barang-barang yang diimpor dari Tiongkok.
China juga mengambil tindakan balasan melalui penerapan kebijakan non-tarif. Salah satu langkahnya adalah dengan mewajibkan batas atas ekspor mineral vital yang sangat diperlukan untuk produksi teknologi canggih di Amerika Serikat.
Jamieson Greer, wakil perdagangan Amerika Serikat, mengatakan bahwa respons China dianggap sebagai tindakan yang tidak seimbang. Dia bahkan mendeskripsikan hal tersebut sebagai
embargo de facto
mengenai transaksi antara kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini.
Setelah pengurangan 115 poin persen, tarif impor China untuk barang-barang Amerika Serikat menurun menjadi 10%, sedangkan tarif impor Amerika Serikat atas produk China dinaikan menjadi 30%.
Meskipun demikian, tambahan biaya sebanyak 20% yang diberlakukan Trump sebelumnya akan tetap dipertahankan. Tarif tersebut merupakan tanggapan Trump terhadap peran China dalam masalah fentanyl di Amerika Serikat.
Spokesperson dari Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa tindakan tersebut sejalan dengan apa yang diharapkan oleh pembuat dan penikmat produk di kedua negeri. Dia menambahkan, “Dan juga untuk kebaikan global.”
“Harapannya adalah AS akan, setelah pertemuan ini, tetap maju dalam arah yang konsisten, mencabut tarif unilaterally, serta mengeraskan kerjasama yang saling menguntungkan,” tambahnya.
Nilai tukar yuan mengalami kenaikan hingga mencapai posisi tertinggi dalam setengah tahun seiring dengan beredarnya informasi tentang gencatan senjata dalam perang dagang. Disebutkan bahwa Tiongkok dapat kehilangan sampai 16 juta lapangan kerja karena ketegangan perdagangan ini.
Pada saat bersamaan, Amerika Serikat terjebak dalam masalah inflasi naik serta rak-rak kosong di toko-toko karena bergantung pada produk-produk dari Cina yang telah dipasang bea cukup tinggi.
Bessent mengungkapkan keterkejutan akan tingkat ke-serius-an Tiongkok saat mendiskusikan masalah fentanyl dalam sebuah pertemuan di Swiss.
“Pertama kali, mereka dari Tiongkok menyadari keparahan masalah ini di AS,” katanya.
Pernyataan gabungan antar dua negara tersebut memperkuat tekad mereka untuk melanjutkan perjalanan dengan menerapkan prinsip-prinsip seperti kebersamaan, berkomunikasi secara terbuka, bekerja sama, serta menghargai satu sama lain.
William Xin dari Spring Mountain Pu Jiang Investment menyampaikan pada Reuters bahwa hasil tersebut melampaui harapan pasar.
“Sekarang ini, pasar sebelumnya hanya menginginkan kedua belah pihak dapat duduk bersama. Kini telah terdapat kepastian,” katanya.
Mantan editor Global Times yang bersifat nasionalis, Hu Xijin, menganggap perjanjian tersebut sebagai kemenangan penting bagi China dalam menerapkan prinsip kerataan dan penghargaan saling melengkapi.
Wang Wen dari Renmin University menilai pencapaian ini tidak diduga sebelumnya. Namun, ia memperingatkan bahwa kesepakatan ini belum menyelesaikan akar masalah struktural antara kedua negara.
Eropa merespon baik berita tersebut. Indeks DAX Jerman bertambah sekitar 1%, sementara saham Maersk di Denmark mengalami kenaikan sebesar 12%.
Harga minyak Brent meningkat kurang lebih 3% menjadi $65,75 per barel. Sementara itu, indeks dolar Amerika Serikat memperkuat posisinya dengan kenaikan 1,2% ketimbang sekantong mata uang global lainnya.
Bank ING asal Belanda mengerek prediksinya untuk pertumbuhan ekonomi China setelah pernyataan tersebut. Mereka meramalkan bahwa ekspor China ke Amerika Serikat bakal naik lagi dan mereka memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China sebesar 4,7% pada tahun ini.